Minggu, 20 Maret 2022

Mengintip Perbandingan Madzhab Dalam Islam



Oleh : Muhammad Adi Yusuf
Mahasiswa PAI STAI Al-Hikmah

Perbandingan mazhab atau dalam bahasa Arab disebut muqaranah al-mazahib berasal dari dua sub kata, yaitu kata muqaranah dan mazahib. Secara etimologi muqaranah seperti dalam kamus munjid karangan Luis Ma’luf adalah berasal dari kata : قارن – يقارن – مقارنة yang artinya mengumpulkan, membandingkan antara dua perkara atau lebih. 

Berdasarkan makna lughowi diatas, maka perbandingan mazhab menurut ulama fiqh adalah :

الفقه المقارن : جمع آراء الأئمة المجتهدين مع أدلتها فى المسالة الواحدة المختلف فيها. ومقابلة هذه الأدلة بعضها مع بعض ليظهر بعد مناقشتها أي الأقوال أقوى دليلا

Mengumpulkan pendapat paa imam mujtahidin berikut dalil-dalilnya tentang suatu masalah yang diperselisihkan, dan kemudian membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut satu sama lainnya untuk menemukan yang terkuat dalilnya.

Sedangkan pengertian mazhab secara etimologi berasal dari kata :

ذهب – يذهب – ذهبا - مذهبا dengan bentuk jamaknya مذاهب yang berarti المعتقد االطريقة artinya aliran atau paham yang diikuti/dianut.     

Sedangkan dalam Ensiklopedia Islam mazhab diartikan sebagai pendapat, kelompok atau aliran yang bermula dari pemikiran atau ijtihad seorang imam dalam memahami sesuatu baik filsafat, hukum fiqh, teologi dan sebagainya. Pemikiran ini kemudian diikuti oleh kelompok atau pengkutnya dan dikembangkan mennjadi suatu aliran sekte atau ajaran.

Adapula yang mengartikan mazhab sebagai tempat berjalan, aliran. Dalam istilah Islam berarti pendapat, faham atau aliran seroang alim besar dalam Islam yang disebut imam seperti mazhab syafi’I, mazhab Maliki dan lain sebagainya.

Dari pengertian-pengertian diatas mengenai arti muqaran maupun mazhab itu sendiri baik secara etimologi maupun secara terminologi, tentunya kita bias memahami bahwa yang dimaksud dengan perbandingan mazhab atau muqaranah al-mazahib adalah membandingkan, mempertemukan serta mendiskusikan pendapat atau pandangan mazhab-mazhab terhadap suatu masalah, dengan mengadakan seleksi atau perbandingan terhadap dalil-dalil yang mereka gunakan serta cara beristimbath atas dalil tersebut dengan segala argumentasinya.

Mengapa Terjadi Perbedaan Madzhab

Menjadi sebuah fenomena dengan munculnya berbagai mazhab di bidang ilmu fiqih yang membuktikan bahwa keterbukaannya keilmuan Islam di zaman tersebut sehingga setiap fuqoha’ mampu dan berhak untuk mengemukakan pendapatnya yang berbeda dengan para
fuqoha’ yang lain, meskipun itu adalah gurunya sendiri. Seperti halnya imam Syafi’i yang menjadi salah satu murid tebaik imam Maliki, beliau mengemukakan argumen yang berbeda dengan imam Maliki, yang akhirnya kedua pendapat tersebut memunculkan dua mazhab yang berbeda. Para imam madzhab yang popular dikalangan umat Islam yaitu Hanifah, Maliki,
Syafi’i, Hambali. 

Pada saat sekarang umat Islam tidak dapat lepas dari bermazhab, karena bermazhab menjadikan hukum islam stabil dan tidak berubah tanpa adanya ketentuan yang
pasti. Selanjutnya dalam bermazhab hendaknya memiliki mazhab yang muktabar dan terkenal diantara mazhab empat, yaitu imam Hambali, imam Syafi’i, imam Maliki, imam Hanafi. Hukum dasar dijadikan untuk bermazhab yaitu Qiyas, Hadits, al-Qur’an, dan Ijmak.

Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap rahasia syariat dan memahami illat hukum.

Semua ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena syariat Islam tidak saling bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan terjadi karena keterbatasan dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap harus beramal dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama sebab wahyu sudah terputus.

Namun bagi seorang mujtahid ia mesti beramal dengan hasil ijtihadnya sendiri berdasarkan interpretasinya (dhzan) yang terkuat menurutnya terhadap makna teks syariat. Karena interpretasi ini yang menjadi pemicu dari perbedaan. Rasulullah saw bersabda, ”Jika seorang mujtahid berijtihad, jika benar ia mendapatkan dua pahala dan jika salah dapat satu pahala, ”

Kecuali jika sebuah dalil bersifat qathi’ (pasti) dengan makna sangat jelas baik dari Al-Quran, Sunnah mutawatir atau hadis Ahad Masyhur maka tidak ruang untuk ijtihad.

Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dhzanni (lawan dari qathi) atau yang lafadlnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah sebagai berikut:

1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Arab.
Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.

Contohnya, lafadl quru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al-Baqarah:228). Atau lafadl perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadl nahy; memiliki makna larangan yang haram atau makruh.

Contoh lainnya adalah lafadl yang memiliki kemungkinan dua makna antara umum atau khusus adalah Al-Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam agama” apakah ini informasi memiliki arti larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?

2. Perbedaan Riwayat
Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa, di antaranya:
Hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya.
Atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan perawi yang kuat.
Atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat.
Atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis.
Atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.

3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum
Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat, istishab, saddu dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.

4. Perbedaan Kaidah Usul Fiqh
Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar", "tambahan terhadap nash quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.

5. Ijtihad dengan Qiyas
Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal (masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas di samping juga ada kesepakatan antara ulama.

6. Pertentangan (kontradiksi) dan Tarjih antar Dalil-dalil
Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.

Tujuan Perbandingan Madzhab

Sebagian orang masih ada yang beranggapan bahwa mempelajari berbagai mazhab dan perbedaan yang ada didalamnya adalah sesuatu yang tabu dan tidak ada gunanya, dengan asumsi bahwa perbandingan itu akan menggoyahkan pendirian seseorang dan boleh jadi nantinya seseorang akan selalu membanding-bandingkan hukum atau dalil dan mencari yang mudah dengan berpindah-pindah mazhab. 

Mempelajari perbandingan mazhab sangatlah luas manfaatnya sebab perbandingan yang dilakukan merupakan perbandingan lintas mazhab, tidak ada lagi keterikatan pada satu paham, netralitas benar-benar diuji dalam hal ini sehingga keputusan yang diambil benar-benar objektif berdasarkan kenyataan dan bukan rekayasa hukum. 

Tujuan dari muqaranah atau perbandingan bukanlah setelah kita membandingkan sebuah dalil atau hukum, lantas kita jadikan untuk saling melemahkan atau menjatuhkan pendapat satu dengan lainnya, karena fungsi perbandingan juga untuk mempererat atau mendekatkan mazhab-mazhab itu sendiri.

Diantara manfaat mempelajari ilmu muqaranah Al-Mazahib adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui hukum agama dengan sempurna dan beramal dengan hukum yang didukung oleh dalil terkuat. 
2. Dapat mengetahui berbagai pendapat, baik dalam satu mazhab, ataupun mazhab-mazhab lain, baik pendapat itu disepakati atau diperselisihkan dan dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan itu. 
3. Dapat mengetahui metode istibath dan cara penalaran ulama terdahulu dalam menggali hukum syara dari dalilnya yang terperinci 
4. Dapat mengetahui sebab khilaf atau letak perbedaan pendapat yang diperselisihkan 
5. Dapat memperoleh pandangan yang luas tentang pendapat para imam dan dapat mentarjihkan mana yang terkuat. 
6. Dapat mendekatkan berbagai mazhab sehingga perpecahan umat dapat disatukan kembali, ataupun jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga ukhuwah islamiyah lebih terjalin. 
7. Dapat mengetahui betapa luasnya pembahsan ilmu fiqh 
8. Dapat menghilangkan kepician dalam mengamalkan syari’at islam, yang hanya terikat pada satu pendapat serta menyalahkan pendapat mazhab lain. 
9. Dapat menghilangkan sifat taqlid buta

Karakteristik Masing-Masing Madzhab

Di dalam madzhab yang 4 itu ada juga karakter khusus yang menonjol. Adapun ciri khas mereka adalah sebagai berikut:

1. Imam Abu hanifah lebih mengedepankan rasionalitas atau logika/ Ro’yun. Sehingga apabila terdapat seseorang yang sering meminta rasionalitas dalam memcahkan suatu persoalan, maka kembalilah kepada Imam Abu Hanifah.

2. Imam Malik Bin Anas lebih sering kepada hadist, apabila sebuah hadist mengatakan dan atau menjelaskan sebuah perkara A, maka pelaksanaanya pun seperti A. Beliau pernah ditanya tentang logika, “Wahai Imam Malik, apa pendapatmu dari segi akal? kata Imam Malik: Kalau ingin bertanya tentang logika/ Ro’yun, maka tanyakanlah kepada Imam Abu Hanifah jangan tanya kepada saya”. Karena beliau lebih cenderung memahami persoalan dari tekstual hadsitnya. Sehingga apabila para pembaca hendak mengambil persoalan yang sumbernya langsung dari hadist, maka kembali lah kepada Imam Malik bin Anas.

3. Imam Asy Syafi’i memiliki ke khasan, diamana beliau menghafal hadist dan mendalami bahasa Arab, beliau tidak hanya sekedar mendalami bahasa Arab, akan tetapi beliau langsung masuk ke dalam kampung Arab atau ke Badui, dimana daerah ini adalah daerah yang paling fasih bahasa Arabnya, sampai beliau merupakan satu-satunya di antara imam 4 Madzhab yang memiliki diwan, yang di dalamnya terdapat puisi-puisi berbahasa Arab yang berisi nasehat-nasehat, diwan ini bernama Diwan al Imam Asy Syafi’i. Beliau juga dikenal sebagai ahli qias atau analogi, sehingga hadist dapat dipahami, fiqih beliau juga faham, bahasanya kuat dan termasuk analogi beliau sangat kuat. Adapun dalam penetapan hukum sebuah perkara, beliau lebih memilih perkara yang lebih banyak pahalanya. Sebagaimana pendapat beliau dalam membaca basmalah sewaktu sholat, apakah di jahrkan atau dibaca secara sirri, beliau berpendapat bahwa bacaan basmalah dijahrkan ketika sholat jahr (Subuh, Madhrib, Isya’) dan disirkan ketika sholat sir (Dzhuhur, Ashar).

5. Imam Ahmad bin Hambal sering mengambil pertengahan, apabila Imam Malik berpendapat dan Imam Syafi’i berpendapat, maka Imam Ahmad mengambil pertengahannya. Seperti halnya dalam bacaan Bismillah ketika sholat, Imam yang satu membaca Jahr dan Imam yang satu membaca Sir, sedangkan Imam Ahmad membaca dengan tidak Jahr dan tidak Sir. Begitu juga halnya ketika Qunut, Imama Abu Hanifah Tidak melakukan Qunut, dan Imam Syafi’i Qunut, diambil yang pertengahan yaitu ketika ada kejadian, dan apabila tidak ada kejadian dia tidak Qunut lagi, yaitu Qunut Nazilah, itulah Imam Ahmad bin Hambal.


Bolehkah Mengamalkan Semua Madzhab

Dalam bermadzhab ternyata juga ada ketentuan-ketentuan yang mewajibkan kita untuk konsisten dalam penerapan dan tidak juga dengan cara mencampurkan semua madzhab yang ada. Dalam kitab Raudhoh Al-Nadzir wa Junnah Al-Munadzir, di bab Taqlid, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (620H) menyebutkan Ijma’ (Konsensus) para sahabat bahwa seorang awam wajib taqlid (mengikuti) mujtahid atau madzhab. Sama sekali tidak diwajibkan seorang awam untuk mengetahui dalil, cukup bagi seorang awam untuk mengetahui hukum suatu masalah, dan menjalankan ibadah sesuai hukum yang ia ketahui walau tidak tahu dalil. Dan cukup baginya fatwa ulama yang ia ikuti, atau guru yang ia belajar kepadanya.

Sedangkan seorang mujtahid, yang memang mampu menganalisa serta menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan hadits, ia diharamkan mengikuti sipapun itu. Yang dia harus lakukan adalahberijtihad; karena memang ia adalah ahli dalam hal itu.

Nah, tinggal di lihat dengan penuh kesadaran diri, kita masuk dalam kategori yang mana; awam kan atau mujtahid kan kita? Apakah bisa kita memahami teks-teks syariah yang ada tanpa melirik sedikitpun kepada pemaparan dan penjelasan ulama terdahulu? Seberapa baik kemampuan bahasa arab kita? Seberapa paham kita tentang maqasihd syariah? Kalau jauh dari itu semua, maka segera sadari, kita adalah awam yang hanya bisa mengikuti ulama madzhab agar selamat dalam beragama dan tidak keliru memahami al-Qur’an serta hadits Nabi Muhammad SAW yang suci. Karena memang pada dasarnya, mengikuti ulama-ulama madzhab tersebut itu sama juga mengikuti al-Qur’an dan hadits Nabi; karena memang mereka tidak mendatangkan hukum-hukum syariah dari otak dan nafsu mereka, akan tetapi itu semua dari al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW.

Para Ulama bersepakat membolehkan seseorang berpindah mazhab dengan dua syarat:

1. Pertama, tidak berpindah mazhab dengan tujuan mengambil pendapat yang ringan-ringan saja dalam keadaan tidak terdesak. 

2. Kedua, tidak talfiq atau menggabungkan dua mazhab atau lebih dalam satu perkara ibadah.

Jika seseorang pindah mazhab dan memenuhi dua syarat di atas, maka amalannya sah secara fikih.

Maka, sebaiknya seorang muslim itu dalam beribadah, segala amalnya itu punya sandaran argumen yang kuat dan bukan mengada-ngada. Karenanya, tidak dibenarkan seorang muslim beribadah dan mengamalkan ajaran agama tanpa mendapat bimbingan seorang ahli agama yang bisa menjadi akses baginya menuju para mujtahid-mujtahid yang ada. Dengan bahasa yang lebih dekat “berguru kepada guru”, bukan kepada buku, apalagi laman internet yang sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan. Dengan bahasa lain madzhab awam itu madzhab gurunya. Jadi apapun yang diajarkan gurunya, itulah madzhab yang ia harus ikuti. Jangan sekali-kali mencoba untuk menafsirkan dan meneliti ayat serta hadits sendirian yang akhirnya justru menghinakan al-Qur’an itu sendiri bukan memuliakan, karena ditafsiri serampangan dengan nalar yang dangkal dan metode asal-asalan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar