Jumat, 22 April 2022

Perbedaan Pemikiran Imam 4 Madzhab Dan Karakteristik Metode Istinbath Hukum



Oleh : Muhammad Adi Yusuf

Mahasiswa PAI STAI Al-Hikmah


Beberapa Konsep Dalam 4 Madzhab Islam


Ada beberapa konsep yang diusung dari masing-masing madzhab yang terlihat mencolok, diantaranya adalah :
a. Mazhab Hanafi
Imam Hanafi bernama Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit dikenal sebagai Ahli Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari Al-Quran atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf (Adat).

b. Mazhab Maliki
Imam malik bernama lengkap Anas bin Malik. Imam malik dikenal sebagai ahli hadist. Beliau sangat menghormati dan menjunjung tinggi hadis Nabi SAW, sehingga bila hendak memberi pelajaran hadis, beliau selalu berwudhu terlebih dahulu, kemudian duduk di atas alas dan sembahyangtawadhu. Pola pemikiran imam malik dalam berijtihad adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma, dan Al-Qiyaas, Itsar Ahli Madinah, Mashalahah Al-Mursalah (Istishlaah), Qoul Shohabi, Khabar Ahad dan Qiyas , Istihsaan, Sadd Ad-Dzara’i, Istishaab, Syar’u Man Qoblanaa.

c. Mazhab Syafi’i
Nama asli Imam Syafi’I adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i al-Syaib bin Ubaid bin al-Yazid bin Hasyim bini al-Muthallib bin Abdu al-Manaf al-Muthallibi (anak paman Rasulullah). Prestasi pemikiran hukum Islam Imam Syafi’i antara lain sebagai perintis dasar-dasar konseptual tentang hadits, dan sebagai peletak utama dasar metodologi (ushul fiqh) dalam hukum islam. Metodologi pemikiran hukum Imam Syafi’i yaitu dengan metodologi pemikiran Imam Syafi’i ini, ternyata menjadi model yang paling khas di antara beberapa model yang digunakan untuk mendekati dan menggali suatu hukum. Sisi lain yang tak kalah menarik adalah, bahwa metodologi pemikiran Imam Syafi’i sejak diterbitkannya hingga kini belum ada tandingannya. Disinilah urgensitas sebuah metodologi yang memiliki daya aktualitas sepanjang sejarah, suatu metodologi yang langsung mengadopsi logika al-Quran. Dasar-dasar pemikiran Imam Syafi’I tentang penggunaan dalil yaitu Madzhab Syafi’i membagi istilah dalil menjadi dua, yaitu dalil yang sah yang wajib diamalkan dan dalil yang sah, tetapi sebenarnya tidak sah. Yang dimaksud dalil yang sah menurut Imam Syafi’i dan memiliki kekuatan hukum adalah al-Quran, Sunah, Ijma’, Qiyas dan Istishhab. Sedangkan yang lainnya merupakan dalil yang dikelompokkan pada dalil yang diperselisihkan, yaitu istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, madzhab shahabi, syar’u man qablana, adalah termasuk dalil-dalil yang tidak sah dan tidak wajib diamalkan menurut al-Syafi’i. Selanjutnya dalam pembahasan ini akan dikemukakan maksud dan kedudukan al-Quran, al-Sunah, al-Ijma’ dan al-Qiyas, yaitu sebagai dalil yang sah dan memiliki kehujjahan. Imam Syafi’i membagi hukum syara’ menjadi dua. Pertama : pengetahuan hukum syara’ yang didasarkan pada al-Quran dan hadits akan menghasilkan kebenaran hukum secara lahir dan batin. Oleh karenanya harus dipatuhi oleh seluruh umat muslim dan tidak seorangpun yang boleh meragukannya. Kedua : pengetahuan hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad, yaitu dengan menggunakan indikasi yang ada. Hal ini akan sampai pada kebenaran hukum yang lahir saja, dan belum tentu benar menurut bathinnya, yaitu menurut ulama lainnya. Sebab tidak ada yang mengetahui yang ghaib selain Allah.

d. Mazhab Hambali
Nama lengkap Imam Hambal adalah Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hanbal ibnu Asad ibnu Idris ibnu Abdullah ibnu Hasan al-Syabaniy. Pada hakikatnya para ulama’ seapakat bahwa imam Ahmad ibnu Hanbal adalah seorang pemuka ahli Al-Hadits, dan tidak pernah menulis secara langsung kitab fiqh, sebab semua masalah fiqh yang dikaitkan dengan diri beliau hanyalah berasal dari fatwa-fatwanya yang menjadi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan terhadap beliau, sedang yang menyusunnya adalah para pengikutnya.Selanjutnya fiqh Ahmad ibn Hanbal itu pada dasarnya lebih banyak didasarkan pada Al-Hadits, dalam artian jika terdapat dalam hadits al-shahih, yang diambil hanyalah al hadits al-shahih tanpa memperhatikan yang lainnya. Dan jika ditemukan adanya fatwa sahabat, maka fatwa sahabatlah yang diamalkan. Akan tetapi apabila ditemukan beberapa fatwa sahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka yang dipilih fatwa mereka yang mendekati Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika para sahabat itu berbeda dalam suatu masalah, maka keduannya dipakai sebagai hujjah. Akan tetapi jika ditemukan adanya hadits al-mursal atau dla’if, maka beliau lebih mendahulukan Al-Hadits dari pada Al-Qiyas. Karena hal itukah Al-Qiyas tidak digunakan kecuali dalam keadaan terpaksa, sehingga beliau tidak suka menggunakan fatwa yang tanpa dasar atsar sahabat atau tabiin. Imam Ahmad ibnu Hanbal dalam mensikapi keadaan sosial politik, selalu menggunakan mashlahah mursalah dan istihsan sebagai dasar hukumnya selama nash atau qaul al-sahhabat tidak ditemukan, sebagaimana yang tercermin pada pola pemikirannya yang sangat kuat dalam berpegang teguh kepada Al-Hadits, bahkan hal tersebut menjadiakn dirinya terlalu takut menyimpang dari ketentuan Al-Hadits, begitu juga al-atsar, mengingat posisinya sebagai ahl Al-Hadits. Hal seperti itu tampak jelas sekali ketika beliau menghadapi terjadinya perbedaan apandangan diantara para tabi’in, dimana beliau tidak berani memilih antara pendapat-pendapat yang ditentukan oleh mereka, apalagi pendapat para nabi SAW.

Karakteristik Pemikiran Dari 4 Madzhab Islam


Ada beberapa karakteristik pemikiran dari masing-masing madzhab yang ada, diantaranya dapat kita lihat perbedaannya, yaitu :
a. Mazhab Hanafi
Ada beberapa karakteristik yang dijadikan pegangan oleh Imam Abu hanifah dalam membangun madzhabnya, di antaranya adalah:
  1. Menjaga hak-hak fakir miskin. Contoh: ketentuan wajib zakat pada pakaian yang terbuat dari emas dan perak, serta tidak diwajibkan zakat pada orang yang mempunyai hutang.
  2. Kemudahan dalam beribadah dan dalam pekerjaan sehari-hari. Contohnya adalah hukum menghadap kiblat: ketika di malam yang gelap atau pada saat susah ketika menentukan arah kiblat. Seseorang yang shalat dalam kondisi demikian, kemudian dia shalat sesuai keyakinannya, maka hukum shalatnya sah sekalipun ternyata ia tidak menghadap kiblat. Dengan syarat dia sudah berusaha mencari arah kiblat.
  3. Memelihara kehormatan dan perikemanusiaan. Contohnya: bagi anak-anak perempuan yang sudah mencapai umur untuk mencari pasangan hidup tanpa ada paksaan dari wali. Perkawinan yang dilakukan secara paksa terhadap anak perempuan, hukumnya tidak sah jika ia menolak perkawinan tersebut.
  4. Memberikan kuasa penuh kepada pemerintah dan pemimpin-pemimpin negara. Contoh: pemerintah, kerajaan atau pemimpin negara berhak mengendalikan kekayaan negara seperti tanah dan sebagainya untuk kepentingan umum. Pemerintah atau pemimpin yang berkuasa juga berhak memberikan hadiah-hadiah kepada pejuang-pejuang atau prajurit-prajurit sebagai penghargaan kepada mereka.
  5. Mengakui peradaban hidup manusia. Contohnya: pengakuan keislaman anak-anak yang belum akil sebagai orang Islam yang sempurna sama seperti orang dewasa juga. Contoh lain adalah bagi orang yang menerima wasiat hendaknya menjaga harta anak yatim dan menjalankan perniagaan dengan harta anak yatim tersebut sesuai prinsip amanah.

b. Mazhab Maliki
Ada beberapa karakteristik dalam fiqih Madzhab Maliki yang membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam pengembangan Madzhab Maliki dan menjadikannya tampil beda di antara beliau dan ulama lainnya, yaitu:
  1. Madzhab Maliki berpegang pada amal Ahli Madinah karena Madinah merupakan tempat Rasulullah berhijrah. Di Madinah banyak diturunkan ayat-ayat al-Qur‟an, jadi asumsinya semua orang mengikuti tradisi Madinah terdahulu. Imam Malik menganggap bahwa praktik umum masyarakat Madinah sebagai bentuk sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan kata- kata.
  2. Dijadikannya mashalih al-mursalah (istishlah) sebagai sumber hukum. Mashalih al-mursalah adalah hal-hal yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia, tetapi tidak disebutkan oleh syari‟ah secara khusus. Kemaslahatan-kemaslahatan ini tidak diperlihatkan oleh syara‟ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maqâshid syari‟ah.
  3. Imam Malik berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat (qaul sahabi) karena mereka adalah orang yang terdahulu dari golongan orang yang hijrah (Muhajirin) bersama Rasulullah atau dari golongan penolong (Ansor).
  4. Imam Maliki menggunakan Istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerja, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan qisas yang harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah. Kelima, kedudukan sunnah di hadapan Imam Malik. Beliau tidak mensyaratkan dalam menerima hadits itu mesti masyhur dalam masalah umum al-Balwa.

c. Mazhab Syafii
Bertolak dari dua arus mazhab yang tampak berseberangan itu, Imam Syafi’i berupaya memadukan keduanya, dengan mengambil metodologi mazhab ahl al-ra’yu yang dipandangnya baik dan menanggalkan yang kurang baik. Begitu pula, beliau mengambil metodologi mazhab ahl al-ḥadith yang dianggap baik dan meninggalkan yang kurang baik. 
Karakterikstik mazhab ahl al-ra’y adalah: 
  1. Penggunaan ra’yu/akal dalam menetapkan status hukum kasuistik tidak hanya terbatas pada fenomena yang mengemuka pada masa itu. Bahkan mereka juga memprediksikan hukum suatu masalah yang belum terjadi. Karena itu, metodologi mereka dikenal sebagai fiqh iftiraḍi atau fiqih pengandaian. 
  2. Sangat selektif dan ketat dalam penerimaan suatu hadis dengan membuat persyaratan yang ketat. Dalam penetapan suatu periwayatan hadis, mereka tidak memperbanyak periwayatan hadis dari Nabi, dikhawatirkan terjerumus ke dalam hadis-hadis palsu. Hal tersebut menjadikan mereka mengesampingkan periwayatan hadis dan sebaliknya, mereka lebih mengedepankan nalar akal/ra’yu.
Karakteristik dari mazhab ahl al-ḥadith : 
  1. Pengistinbathan hukum suatu masalah hanya merujuk kepada al-Qur’an dan hadis Nabi. Mereka cenderung tidak menyukai penggunaan nalar ra’yu dan juga sangat berhati-hati ketika mengeluarkan fatwa suatu permasalahan. Mereka menegaskan bahwa hukum itu hanya bersandarkan pada fenomena yang terjadi saat ini, seolah-olah menyindir ahl al-ra’y dengan fiqh iftiraḍi-nya. 
  2. Nash-nash hukum Islam, baik al-Qur’an maupun hadis dipahami secara literal-tekstual, serta menganggap hukum sebagai ketentuan ilahi yang tidak dapat dirasionalisasi, sehingga mereka menafikan ‘illat dan hubungan suatu hukum. Al-Sha’bi mengomentari mazhab ini sekaligus menolak gagasan rasionalisme Ibrahim al-Nakha’i, ia menyatakan “Sesuatu yang diriwayatkan dari para sahabat, ambil dan jagalah. Sedangkan sesuatu yang keluar dari hasil nalar akal mereka, buanglah”. Maka pertentangan antara mazhab ahl al-ra’y dan mazhab ahl al-ḥadith sebenarnya berakhir saat Imam Syafi’i menggabungkan dua metodologi dalam mengistinbatkan hukum Islam.

d. Madzhab hambali
Karakteristik imam hambal adalah corak pemikirannya tradisionalis, selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijtihad, Beliau juga menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika terpaksa. Selain sebagai seorang ahli hukum, beliau juga seorang ahli hadist. Karyanya yang terkenal adalah Musnad Ahmad, kumpulan hadis-hadis Nabi SAW. Mazhab Hambali merupakan mazhab fiqih dengan pengikut terkonsentrasi di wilayah Teluk Persia dengan jumlah pengikut sebanyak 41 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak mazhab ini adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Bukhori, Abdul Qodir Al Jailani, lbnu Qudammah, lbnu Taimiyah, Ibnu Qaiyyim Al jauziyyah, Adz-Dzahabi, dan Muhammad bin Abdul Wahab.

Perbedaan Konsep Ijma Menurut Beberapa Imam Mazhab


Ada juga perbedaan dari konsep ijma menurut mazhab Hanafi, madzhab Maliki, mazhab Syafi'i, dan mazhab Hambali :
a. Konsep ijma menurut Mazhab Hanafi
Abu Hanifah mendasarkan madzhabnya pada al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan. Dalam hal ini beliau berkata, “Saya memberikan hukum berdasarkan al-Qur’an. Apabila tidak saya jumpai dalam al-Qur’an, maka saya gunakan hadits Rasulullah. Jika tidak ada dalam keduanya (al-Qur’an dan hadits) saya dasarkan pada pendapat para sahabat. Saya berpegang pada pendapat salah satu sahabat yang lebih kuat, dan jika tidak ada pendapat sahabat maka saya akan berijtihad”. Abu Hanifah, menggunakan ijtihad dan pikiran, serta bagaimana pula penggunaan pikiran untuk membuat perbandingan di antara pendapat-pendapat dan memilih salah satu dari pendapat yang paling kuat. Cara beliau berijtihad dan menggunakan pikiran terlihat dari bagaimana beliau memposisikan al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan.

b. Konsep ijma menurut Mazhab Maliki
Dalam mengembangkan ijtihad dan membangun madzhabnya, Imam Malik berpedoman pada beberapa sumber, yaitu al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, qiyas, qaul shahabi, amal ahli madinah, mashâlih mursalah, istishâb, syaddudz dzari‟ah, dan syar‟u man qablana yang menjadi landasan fiqih Maliki. Ijma‟ menjadi sumber ketiga ketika tidak ada dalam al-Qur‟an dan sunnah mutawatir. Ijma‟ menurut Imam Malik adalah perkara-perkara yang disetujui oleh ulama fiqih dan ahli ilmu pengetahuan. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka menggunakan qiyas dan mengistimbatkan darinya.

c. Konsep ijma menurut Mazhab Syafi’i
Sebagaimana telah diketahui bahwa Imam Syafi’i memiliki dua qawl, yaitu qawl qadim dan qawl jadid. Pemetaan istilah tersebut dengan melihat dimana tempat beliau memutuskan hukum. Pendapat Imam Syafi’i yang difatwakan dan ditulis di Irak dikenal dengan qawl qadīm. Pembukuan pemikiran tersebut diperoleh dari perdebatan beliau dengan ahli fikih rasionalis Irak. Di tengah-tengah kesibukannya ia menyempatkan diri mengabadikan pendapatnya dalam lembaran-lembaran kitab yang disebut dengan al-ḥujjah yang secara komprehensif memuat problematika masyarakat Irak yang kompleks dengan budaya dan peradabannya. Sedangkan, pendapat Imam Syafi’i dan didiktekan pada muridnya di Mesir dan kemudian dibukukan dikenal dengan al-Umm. Istilah qawl qadim dan qawl jadid hanya dijumpai dalam khazanah ijtihad Imam Syafi’i. Karena beliau mencetuskan dua produk hukum yang berbeda dalam satu kasus. Pendapat Imam Syafi’i yang digagas dan difatwakan pada waktu ia masih berada di Irak (195-199 H), disebut dengan qawl qadīm, sedangkan hasil ijtihad Imam Syafi’i yang digali dan difatwakan selama ia bermukim di Mesir (199-204 H), dikenal dengan qawl jadid. Kebanyakan pendapat Imam Syafi’i sewaktu menetap di Irak banyak dituliskan dalam al-Risālah alQadimah dan al-Ḥujjah, yang populer dengan sebutan al-Kitab al-Qadim. Sedangkan qawl jadid yang dirumuskan Imam Syafi’i setelah beliau berdomisili di Mesir diabadikan dalam beberapa kitab, yaitu: al-Risalah al-Jadīdah, al-Umm, al-Amali, al-Imla' dan lain-lain.

d. Konsep ijma menurut Mazhab Hambali
Metode yang dikembangkan oleh ahmad bin hambal adalah metode Dialektika hal ini dapat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang suatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat.Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab. Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.

Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat :“Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”. Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis.Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan.Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “.

Perbedaan Metode Istinbath Hukum Dari Beberapa Madzhab Islam


Perbedaan metode istinbath hukum 4 mazhab, yaitu :
a. Metode Istinbath Mazhab Hanafi
Madzhab ini percaya bahwa metode istinbath hukum islam yang utama berdasar pada al-qur’an dan al-hadits, kemudian berdasar pada ucapan para sahabat atau disebut dengan aqwalus shahabah, kemudian jika masih belum ditemukannya nash diantara ketiga tahapan tersebut, barulah beliau menggunakan qiyas, istihsan, dan urf atau disebut juga dengan keyakinan diri pada suatu adat di sekitar lingkungannya.

b. Metode Istinbath Mazhab Maliki
Pada madzhab Imam Maliki terdapat metode istinbath hukum islam dimana mereka meyakini bahwa al-qur’an sebagai sumber hukum islam yang paling utama dan pokok, kemudian juga pada sunnah-sunnah Rasulullah yang beliau pandang sah, lalu menggunakan ijma’ para ulama Madinah, kemudian beliau juga akan menggunakan qiyas dan langkah terakhir mengacu pada mashalihul mursaalh atau istislah.

c. Metode istinbath Mazhab Syafi’i
Pada mazhab Imam Syafi’I terdapat metode istinbath hukum islam dimana dalam menetapkan suatu hukum, Imam Syafi‟I memiliki langkah-langkah tersendiri yang senantiasa dipegang teguh yaitu, “Hukum asal adalah al-Qur‟an dan Sunnah; apabila tidak ditemukan didalam al-Qur‟an dan Sunnah maka (metode selanjutnya), Qiyas (analogi) akan dilakukan terhadap keduanya. Apabila hadis dari Rasulullah SAW telah shahih sanad nya (muttashil), maka hadis tersebut adalah hadis yang berkualitas (muntaha); ijma’ lebih utama atas khabar ahad. Makna hadis yang diutamakan adalah makna dhahir (jelas). Apabila terdapat hadis yang berbeda, maka sanad hadis yang lebih baik yang diutamakan. Hadis munqathi’ tidak dapat digunakan kecuali hadist munqathi’ yang berasal dari Ibn al-Musayyab; pokok tidak boleh dianalogikan pada pokok; dan (mengapa dan bagaimana) tidak boleh dipertanyakan pada hukum yang pokok dan pertanyaan tersebut dapat dipertanyakan pada far’ (cabang); apabila ia dianalogikan dengan benar terhadap hukum pokok, maka dapat dijadikan sebagai hujjah.”.

d. Metode istinbath Mazhab Hambali
Madzhab ini meyakini bahwa al-qur’an dan hadits sebagai sumber utama dalam metode istinbath hukum islam, lalu beliau menggunakan fatwa shahaby atau pendapat para sahabat, dan menggunakan Hadits Mursal atau Da’if serta qiyas sebagai pilihan terakhir dalam penentuan beliau terkait hukum islam.

Ciri khas Mahzab Maliki Terkenal Dengan Konsep Maslahat


Salah satu ciri khas dari Madzhab Maliki adalah mengenai Maslahah Mursalah yang terdiri dari dua kata, ُMaslahah artinya baik (lawan dan buruk), manfaat atau terlepas dari kerusakan. Adapun kata Mursalah secara bahasa artinya terlepas dan bebas. Maksudnya ialah terlepas dan bebas dari keterangan yang menujukan boleh atau tidaknya sesuatu yang dilakukan. Abdul Wahab Khalaf mendefiniskan maslahah mursalah adalah “Sesuatu yang dianggap maslahah umum namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”. Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa:
  1. Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadist.
  2. Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan meghindari keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya tidak bertentangan dengan tujuan syara’ secara umum.

Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah mursalahah adalah bukan dalil yang berdiri sendiri. Maslahah mursalah tidak terlepas dari petunjuk syara’. Ulama tidak akan menggunakan maslahah mursalah dalam menghukumi sesuatu itu mendatangkan manfaat menurut tinjauan akal dan sejalan dengan tujuan syara’ (mendatangkan keselamatan ), tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip nash, maka ketika itu nash harus didahulukan. Dan ketika itu ada maslahah mursalah tidak dapat digunakan.

Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu menerimanya kecuali maslahah itu memenuhi syarat yang cukup ketat. Syarat yang besifat umum adalah ketika sesuatu itu tidak ditemukan hukumnya dalam nash yang sharih. Selain itu, ada syarat-syarat yang bersifat Khusus yang harus di penuhi yaitu:
  1. Maslahah mursalah itu bersifat hakiky dan bukan maslahah yang bersifat perorangan dan bersifat zhan, dapat diterima oleh akal sehat bahwa hal itu benar-benar mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan dari madharat secara utuh dan menyeluruh sejalan dengan tujuan syara’ tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Contohnya, menjatuhkan talak itu bagi hakim saja dalam segala keadaan.
  2. Sesuatu yang dianggap maslahah itu hedaknya bersifat kepentingan umum bukan kepentingan pribadi.
  3. Sesuatu yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadist dan ijma.

Ciri Khas Mazhab Hanafi Terkenal Dengan Konsep Istihsan


Dalam Madzhab Hanafi juga terkenal dengan satu konsep yang disebut Istihsan, yang pengertiannya adalah perpindahan dari hukum (yang berlaku) dalam suatu masalah tertentu yang sebanding hukumnya pada hukum lain yang lebih kuat. Sedangkan menurut as-Sarkhasi, istihsan ialah adanya dua qiyas (qiyas jali dan qiyas khafi), dengan melakukan perpindahan dari qiyas jali ke qiyas khafi karena kuat pengaruhnya. Pemilihan qiyas ini bukan karena ketersamaran ataupun kejelasan, melainkan mana yang lebih kuat pengaruh illatnya.(Husain Hamid Hasan, 1971:385-387).

Berkaitan dengan istihsan yang digunakan oleh pengikut madzhab Hanafi, Muhammad bin al-Hasan (murid Abu Hanifah) pernah berkata, “Imam Abu Hanifah selalu memperhatikan kawan-kawannya dalam menganologi, maka mereka merupakan pertengahan darinya dan memperbandingkannya, sehingga tatkala beliau berkata, “Saya telah melakukan istihsan, maka tak seorang pun dari mereka yang menyalahinya. Hal ini karena banyaknya kasus yang diputuskan berdasarkan istihsan, maka mereka semua mematuhi dan membenarkannya.”

Ciri Khas Mazhab Syafi'i Terkenal Dengan Konsep Qiyas


Lain lagi dengan madzhab Syafi'i yang membawa konsep ijtihad atau qiyas (analogi). Titik temu dari ungkapan Maslahah Mursalah dan Istihsan adalah sama-sama terikat oleh ketentuan umum/prinsip tertentu. Namun jika tidak terdapat ketentuan umum yang menunjuk kepadanya, maka ketentuan hukum tersebut harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tak lain adalah qiyas (analogi).

Sejalan dengan itu, Syafi’i juga berpendapat bahwa ilmu itu adalah al-Kitab, al-sunnah, al-ijma’, al-atsar baru kemudian al-qiyas. Belum lagi ketentuan Syafi’i menyangkut tentang persyaratan qiyas yang sangat rumit dan sulit itu, bahwa qiyas baru boleh dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk menguasai hukum-hukum yang terdapat dalam al-Kitab,al-sunnah, pendapat kaum salaf, ijma’ dan akhtilaf serta bahasa Arab yang baik dan benar.

Namun demikian tidak semua qiyas akan menghasilkan pendapat yang berbeda. Karena menurutnya qiyas masih dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, qiyas yang furu’nya sama arti dan merupakan bagian dari pada asalnya. Qiyas seperti ini memiliki tingkat kebenaran yang tinggi, hingga para ulama tidak diperkenankan untuk berselisih paham tentangnya. Kedua, qiyas yang furu’nya mempunyai kesamaan dengan beberapa asal, karenanya dihubungkan dengan asal yang paling tepat dan paling banyak segi kesamaannya. Qiyas model yang kedua ini tidak kuat tingkat kebenarannya, hingga para ulama banyak berbeda pendapat padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar