Selasa, 14 Juni 2022

Wudhu Dalam Pandangan Madzhab Hanafi



Wudhu itu adalah salah satu cara menyucikan anggota tubuh dengan air. Seorang muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan salat, baik shalat wajib maupun sunnah.

Rukun Wudhu Menurut Madzhab Hanafi

Para ulama berrbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Khusus Madzhab Hanafi menyebutkan 4 (empat) rukun wudhu saja sebagaimana yang disebutkan dalam nash Quran

1. Membasuh Wajah

Para ulama menetapkan bahwa batasan wajah seseorang itu adalah tempat tumbuhnya rambut (manabit asy-sya`ri) hingga ke dagu dan dari batas telinga kanan hingga batas telinga kiri.

2. Membasuh kedua tangan hingga siku

Secara jelas disebutkan tentang keharusan membasuh tangan hingga ke siku. Dan para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa siku harus ikut dibasahi

3. Mengusap kepala

Yang dimaksud dengan mengusap adalah menjalankan tangan ke bagian yang diusap dengan membasahi tangan sebelumnya dengan air. Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang wajib untuk diusap tidak semua bagian kepala, melainkan sekadar dari kepala. Yaitu mulai ubun-ubun dan di atas telinga.

4. Mencuci kaki hingga mata kaki.

Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan hingga mata kaki adalah membasahi mata kakinya itu juga. Al-Hanafiyah menganggap tertib itu bukan merupakan bagian dari fardhu wudhu`, melainkan hanya sunnah muakkadah. Akan halnya urutan yang disebutan di dalam Al-Quran, bagi mereka tidaklah mengisyaratkan kewajiban urut-urutan.

Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu Menurut Madzhab Hanafi

  1. Keluarnya sesuatu lewat dua lubang qubul atau dubur.
  2. Tidur yang bukan dalam posisi tamakkun di atas bumi (tidak memungkinkan keluar sesuatu dari dubur).
  3. Hilang Akal Karena Mabuk, Tidur Atau Sakit
  4. Keluarnya Sesuatu dari badan, seperti darah, nanah dan semacamnya, akibat luka atau lainnya.
  5. Tertawa dalam solat juga menyebabkan batal wudhu.

Catatan :

  • Menurut Madzhab Hanafi menyentuh kemaluan dengan tangan tidak batal wudhu.
  • Madzhab Hanafi menganggap tidak batal wudhu sama sekali, jika menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram

Rabu, 08 Juni 2022

WAKAF DALAM PANDANGAN BERBAGAI MADZHAB



Oleh : Muhammad Adi Yusuf
Mahasiswa PAI STAI Al-Hikmah

Istilah wakaf saat ini sudah cukup populer di telinga masyarakat, namun hingga detik ini masih banyak pula yang belum tahu apa arti wakaf sebenarnya. Wakaf masih dianggap sama dengan zakat maupun sedekah, namun ternyata wakaf itu berbeda.

Dilihat dari segi bahasa, maka “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” yang berarti, menahan, berhenti, diam di tempat atau tetap berdiri. Kata “waqf” dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian: menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.

Para ahli fikih berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:

Dengan kata lain wakaf yakni menyerahkan kepemilikan harta manusia menjadi milik Allah atas nama ummat. Semoga wakaf yang dilaksanakan tersebut membuat kita selama dunia dan akhirat.

Jumat, 22 April 2022

Perbedaan Pemikiran Imam 4 Madzhab Dan Karakteristik Metode Istinbath Hukum



Oleh : Muhammad Adi Yusuf

Mahasiswa PAI STAI Al-Hikmah


Beberapa Konsep Dalam 4 Madzhab Islam


Ada beberapa konsep yang diusung dari masing-masing madzhab yang terlihat mencolok, diantaranya adalah :
a. Mazhab Hanafi
Imam Hanafi bernama Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit dikenal sebagai Ahli Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari Al-Quran atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf (Adat).

b. Mazhab Maliki
Imam malik bernama lengkap Anas bin Malik. Imam malik dikenal sebagai ahli hadist. Beliau sangat menghormati dan menjunjung tinggi hadis Nabi SAW, sehingga bila hendak memberi pelajaran hadis, beliau selalu berwudhu terlebih dahulu, kemudian duduk di atas alas dan sembahyangtawadhu. Pola pemikiran imam malik dalam berijtihad adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma, dan Al-Qiyaas, Itsar Ahli Madinah, Mashalahah Al-Mursalah (Istishlaah), Qoul Shohabi, Khabar Ahad dan Qiyas , Istihsaan, Sadd Ad-Dzara’i, Istishaab, Syar’u Man Qoblanaa.

c. Mazhab Syafi’i
Nama asli Imam Syafi’I adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i al-Syaib bin Ubaid bin al-Yazid bin Hasyim bini al-Muthallib bin Abdu al-Manaf al-Muthallibi (anak paman Rasulullah). Prestasi pemikiran hukum Islam Imam Syafi’i antara lain sebagai perintis dasar-dasar konseptual tentang hadits, dan sebagai peletak utama dasar metodologi (ushul fiqh) dalam hukum islam. Metodologi pemikiran hukum Imam Syafi’i yaitu dengan metodologi pemikiran Imam Syafi’i ini, ternyata menjadi model yang paling khas di antara beberapa model yang digunakan untuk mendekati dan menggali suatu hukum. Sisi lain yang tak kalah menarik adalah, bahwa metodologi pemikiran Imam Syafi’i sejak diterbitkannya hingga kini belum ada tandingannya. Disinilah urgensitas sebuah metodologi yang memiliki daya aktualitas sepanjang sejarah, suatu metodologi yang langsung mengadopsi logika al-Quran. Dasar-dasar pemikiran Imam Syafi’I tentang penggunaan dalil yaitu Madzhab Syafi’i membagi istilah dalil menjadi dua, yaitu dalil yang sah yang wajib diamalkan dan dalil yang sah, tetapi sebenarnya tidak sah. Yang dimaksud dalil yang sah menurut Imam Syafi’i dan memiliki kekuatan hukum adalah al-Quran, Sunah, Ijma’, Qiyas dan Istishhab. Sedangkan yang lainnya merupakan dalil yang dikelompokkan pada dalil yang diperselisihkan, yaitu istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, madzhab shahabi, syar’u man qablana, adalah termasuk dalil-dalil yang tidak sah dan tidak wajib diamalkan menurut al-Syafi’i. Selanjutnya dalam pembahasan ini akan dikemukakan maksud dan kedudukan al-Quran, al-Sunah, al-Ijma’ dan al-Qiyas, yaitu sebagai dalil yang sah dan memiliki kehujjahan. Imam Syafi’i membagi hukum syara’ menjadi dua. Pertama : pengetahuan hukum syara’ yang didasarkan pada al-Quran dan hadits akan menghasilkan kebenaran hukum secara lahir dan batin. Oleh karenanya harus dipatuhi oleh seluruh umat muslim dan tidak seorangpun yang boleh meragukannya. Kedua : pengetahuan hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad, yaitu dengan menggunakan indikasi yang ada. Hal ini akan sampai pada kebenaran hukum yang lahir saja, dan belum tentu benar menurut bathinnya, yaitu menurut ulama lainnya. Sebab tidak ada yang mengetahui yang ghaib selain Allah.

d. Mazhab Hambali
Nama lengkap Imam Hambal adalah Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hanbal ibnu Asad ibnu Idris ibnu Abdullah ibnu Hasan al-Syabaniy. Pada hakikatnya para ulama’ seapakat bahwa imam Ahmad ibnu Hanbal adalah seorang pemuka ahli Al-Hadits, dan tidak pernah menulis secara langsung kitab fiqh, sebab semua masalah fiqh yang dikaitkan dengan diri beliau hanyalah berasal dari fatwa-fatwanya yang menjadi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan terhadap beliau, sedang yang menyusunnya adalah para pengikutnya.Selanjutnya fiqh Ahmad ibn Hanbal itu pada dasarnya lebih banyak didasarkan pada Al-Hadits, dalam artian jika terdapat dalam hadits al-shahih, yang diambil hanyalah al hadits al-shahih tanpa memperhatikan yang lainnya. Dan jika ditemukan adanya fatwa sahabat, maka fatwa sahabatlah yang diamalkan. Akan tetapi apabila ditemukan beberapa fatwa sahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka yang dipilih fatwa mereka yang mendekati Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika para sahabat itu berbeda dalam suatu masalah, maka keduannya dipakai sebagai hujjah. Akan tetapi jika ditemukan adanya hadits al-mursal atau dla’if, maka beliau lebih mendahulukan Al-Hadits dari pada Al-Qiyas. Karena hal itukah Al-Qiyas tidak digunakan kecuali dalam keadaan terpaksa, sehingga beliau tidak suka menggunakan fatwa yang tanpa dasar atsar sahabat atau tabiin. Imam Ahmad ibnu Hanbal dalam mensikapi keadaan sosial politik, selalu menggunakan mashlahah mursalah dan istihsan sebagai dasar hukumnya selama nash atau qaul al-sahhabat tidak ditemukan, sebagaimana yang tercermin pada pola pemikirannya yang sangat kuat dalam berpegang teguh kepada Al-Hadits, bahkan hal tersebut menjadiakn dirinya terlalu takut menyimpang dari ketentuan Al-Hadits, begitu juga al-atsar, mengingat posisinya sebagai ahl Al-Hadits. Hal seperti itu tampak jelas sekali ketika beliau menghadapi terjadinya perbedaan apandangan diantara para tabi’in, dimana beliau tidak berani memilih antara pendapat-pendapat yang ditentukan oleh mereka, apalagi pendapat para nabi SAW.

Karakteristik Pemikiran Dari 4 Madzhab Islam


Ada beberapa karakteristik pemikiran dari masing-masing madzhab yang ada, diantaranya dapat kita lihat perbedaannya, yaitu :
a. Mazhab Hanafi
Ada beberapa karakteristik yang dijadikan pegangan oleh Imam Abu hanifah dalam membangun madzhabnya, di antaranya adalah:
  1. Menjaga hak-hak fakir miskin. Contoh: ketentuan wajib zakat pada pakaian yang terbuat dari emas dan perak, serta tidak diwajibkan zakat pada orang yang mempunyai hutang.
  2. Kemudahan dalam beribadah dan dalam pekerjaan sehari-hari. Contohnya adalah hukum menghadap kiblat: ketika di malam yang gelap atau pada saat susah ketika menentukan arah kiblat. Seseorang yang shalat dalam kondisi demikian, kemudian dia shalat sesuai keyakinannya, maka hukum shalatnya sah sekalipun ternyata ia tidak menghadap kiblat. Dengan syarat dia sudah berusaha mencari arah kiblat.
  3. Memelihara kehormatan dan perikemanusiaan. Contohnya: bagi anak-anak perempuan yang sudah mencapai umur untuk mencari pasangan hidup tanpa ada paksaan dari wali. Perkawinan yang dilakukan secara paksa terhadap anak perempuan, hukumnya tidak sah jika ia menolak perkawinan tersebut.
  4. Memberikan kuasa penuh kepada pemerintah dan pemimpin-pemimpin negara. Contoh: pemerintah, kerajaan atau pemimpin negara berhak mengendalikan kekayaan negara seperti tanah dan sebagainya untuk kepentingan umum. Pemerintah atau pemimpin yang berkuasa juga berhak memberikan hadiah-hadiah kepada pejuang-pejuang atau prajurit-prajurit sebagai penghargaan kepada mereka.
  5. Mengakui peradaban hidup manusia. Contohnya: pengakuan keislaman anak-anak yang belum akil sebagai orang Islam yang sempurna sama seperti orang dewasa juga. Contoh lain adalah bagi orang yang menerima wasiat hendaknya menjaga harta anak yatim dan menjalankan perniagaan dengan harta anak yatim tersebut sesuai prinsip amanah.

b. Mazhab Maliki
Ada beberapa karakteristik dalam fiqih Madzhab Maliki yang membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam pengembangan Madzhab Maliki dan menjadikannya tampil beda di antara beliau dan ulama lainnya, yaitu:
  1. Madzhab Maliki berpegang pada amal Ahli Madinah karena Madinah merupakan tempat Rasulullah berhijrah. Di Madinah banyak diturunkan ayat-ayat al-Qur‟an, jadi asumsinya semua orang mengikuti tradisi Madinah terdahulu. Imam Malik menganggap bahwa praktik umum masyarakat Madinah sebagai bentuk sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan kata- kata.
  2. Dijadikannya mashalih al-mursalah (istishlah) sebagai sumber hukum. Mashalih al-mursalah adalah hal-hal yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia, tetapi tidak disebutkan oleh syari‟ah secara khusus. Kemaslahatan-kemaslahatan ini tidak diperlihatkan oleh syara‟ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maqâshid syari‟ah.
  3. Imam Malik berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat (qaul sahabi) karena mereka adalah orang yang terdahulu dari golongan orang yang hijrah (Muhajirin) bersama Rasulullah atau dari golongan penolong (Ansor).
  4. Imam Maliki menggunakan Istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerja, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan qisas yang harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah. Kelima, kedudukan sunnah di hadapan Imam Malik. Beliau tidak mensyaratkan dalam menerima hadits itu mesti masyhur dalam masalah umum al-Balwa.

c. Mazhab Syafii
Bertolak dari dua arus mazhab yang tampak berseberangan itu, Imam Syafi’i berupaya memadukan keduanya, dengan mengambil metodologi mazhab ahl al-ra’yu yang dipandangnya baik dan menanggalkan yang kurang baik. Begitu pula, beliau mengambil metodologi mazhab ahl al-ḥadith yang dianggap baik dan meninggalkan yang kurang baik. 
Karakterikstik mazhab ahl al-ra’y adalah: 
  1. Penggunaan ra’yu/akal dalam menetapkan status hukum kasuistik tidak hanya terbatas pada fenomena yang mengemuka pada masa itu. Bahkan mereka juga memprediksikan hukum suatu masalah yang belum terjadi. Karena itu, metodologi mereka dikenal sebagai fiqh iftiraḍi atau fiqih pengandaian. 
  2. Sangat selektif dan ketat dalam penerimaan suatu hadis dengan membuat persyaratan yang ketat. Dalam penetapan suatu periwayatan hadis, mereka tidak memperbanyak periwayatan hadis dari Nabi, dikhawatirkan terjerumus ke dalam hadis-hadis palsu. Hal tersebut menjadikan mereka mengesampingkan periwayatan hadis dan sebaliknya, mereka lebih mengedepankan nalar akal/ra’yu.
Karakteristik dari mazhab ahl al-ḥadith : 
  1. Pengistinbathan hukum suatu masalah hanya merujuk kepada al-Qur’an dan hadis Nabi. Mereka cenderung tidak menyukai penggunaan nalar ra’yu dan juga sangat berhati-hati ketika mengeluarkan fatwa suatu permasalahan. Mereka menegaskan bahwa hukum itu hanya bersandarkan pada fenomena yang terjadi saat ini, seolah-olah menyindir ahl al-ra’y dengan fiqh iftiraḍi-nya. 
  2. Nash-nash hukum Islam, baik al-Qur’an maupun hadis dipahami secara literal-tekstual, serta menganggap hukum sebagai ketentuan ilahi yang tidak dapat dirasionalisasi, sehingga mereka menafikan ‘illat dan hubungan suatu hukum. Al-Sha’bi mengomentari mazhab ini sekaligus menolak gagasan rasionalisme Ibrahim al-Nakha’i, ia menyatakan “Sesuatu yang diriwayatkan dari para sahabat, ambil dan jagalah. Sedangkan sesuatu yang keluar dari hasil nalar akal mereka, buanglah”. Maka pertentangan antara mazhab ahl al-ra’y dan mazhab ahl al-ḥadith sebenarnya berakhir saat Imam Syafi’i menggabungkan dua metodologi dalam mengistinbatkan hukum Islam.

d. Madzhab hambali
Karakteristik imam hambal adalah corak pemikirannya tradisionalis, selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijtihad, Beliau juga menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika terpaksa. Selain sebagai seorang ahli hukum, beliau juga seorang ahli hadist. Karyanya yang terkenal adalah Musnad Ahmad, kumpulan hadis-hadis Nabi SAW. Mazhab Hambali merupakan mazhab fiqih dengan pengikut terkonsentrasi di wilayah Teluk Persia dengan jumlah pengikut sebanyak 41 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak mazhab ini adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Bukhori, Abdul Qodir Al Jailani, lbnu Qudammah, lbnu Taimiyah, Ibnu Qaiyyim Al jauziyyah, Adz-Dzahabi, dan Muhammad bin Abdul Wahab.

Perbedaan Konsep Ijma Menurut Beberapa Imam Mazhab


Ada juga perbedaan dari konsep ijma menurut mazhab Hanafi, madzhab Maliki, mazhab Syafi'i, dan mazhab Hambali :
a. Konsep ijma menurut Mazhab Hanafi
Abu Hanifah mendasarkan madzhabnya pada al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan. Dalam hal ini beliau berkata, “Saya memberikan hukum berdasarkan al-Qur’an. Apabila tidak saya jumpai dalam al-Qur’an, maka saya gunakan hadits Rasulullah. Jika tidak ada dalam keduanya (al-Qur’an dan hadits) saya dasarkan pada pendapat para sahabat. Saya berpegang pada pendapat salah satu sahabat yang lebih kuat, dan jika tidak ada pendapat sahabat maka saya akan berijtihad”. Abu Hanifah, menggunakan ijtihad dan pikiran, serta bagaimana pula penggunaan pikiran untuk membuat perbandingan di antara pendapat-pendapat dan memilih salah satu dari pendapat yang paling kuat. Cara beliau berijtihad dan menggunakan pikiran terlihat dari bagaimana beliau memposisikan al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan.

b. Konsep ijma menurut Mazhab Maliki
Dalam mengembangkan ijtihad dan membangun madzhabnya, Imam Malik berpedoman pada beberapa sumber, yaitu al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, qiyas, qaul shahabi, amal ahli madinah, mashâlih mursalah, istishâb, syaddudz dzari‟ah, dan syar‟u man qablana yang menjadi landasan fiqih Maliki. Ijma‟ menjadi sumber ketiga ketika tidak ada dalam al-Qur‟an dan sunnah mutawatir. Ijma‟ menurut Imam Malik adalah perkara-perkara yang disetujui oleh ulama fiqih dan ahli ilmu pengetahuan. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka menggunakan qiyas dan mengistimbatkan darinya.

c. Konsep ijma menurut Mazhab Syafi’i
Sebagaimana telah diketahui bahwa Imam Syafi’i memiliki dua qawl, yaitu qawl qadim dan qawl jadid. Pemetaan istilah tersebut dengan melihat dimana tempat beliau memutuskan hukum. Pendapat Imam Syafi’i yang difatwakan dan ditulis di Irak dikenal dengan qawl qadīm. Pembukuan pemikiran tersebut diperoleh dari perdebatan beliau dengan ahli fikih rasionalis Irak. Di tengah-tengah kesibukannya ia menyempatkan diri mengabadikan pendapatnya dalam lembaran-lembaran kitab yang disebut dengan al-ḥujjah yang secara komprehensif memuat problematika masyarakat Irak yang kompleks dengan budaya dan peradabannya. Sedangkan, pendapat Imam Syafi’i dan didiktekan pada muridnya di Mesir dan kemudian dibukukan dikenal dengan al-Umm. Istilah qawl qadim dan qawl jadid hanya dijumpai dalam khazanah ijtihad Imam Syafi’i. Karena beliau mencetuskan dua produk hukum yang berbeda dalam satu kasus. Pendapat Imam Syafi’i yang digagas dan difatwakan pada waktu ia masih berada di Irak (195-199 H), disebut dengan qawl qadīm, sedangkan hasil ijtihad Imam Syafi’i yang digali dan difatwakan selama ia bermukim di Mesir (199-204 H), dikenal dengan qawl jadid. Kebanyakan pendapat Imam Syafi’i sewaktu menetap di Irak banyak dituliskan dalam al-Risālah alQadimah dan al-Ḥujjah, yang populer dengan sebutan al-Kitab al-Qadim. Sedangkan qawl jadid yang dirumuskan Imam Syafi’i setelah beliau berdomisili di Mesir diabadikan dalam beberapa kitab, yaitu: al-Risalah al-Jadīdah, al-Umm, al-Amali, al-Imla' dan lain-lain.

d. Konsep ijma menurut Mazhab Hambali
Metode yang dikembangkan oleh ahmad bin hambal adalah metode Dialektika hal ini dapat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang suatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat.Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab. Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.

Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat :“Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”. Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis.Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan.Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “.

Perbedaan Metode Istinbath Hukum Dari Beberapa Madzhab Islam


Perbedaan metode istinbath hukum 4 mazhab, yaitu :
a. Metode Istinbath Mazhab Hanafi
Madzhab ini percaya bahwa metode istinbath hukum islam yang utama berdasar pada al-qur’an dan al-hadits, kemudian berdasar pada ucapan para sahabat atau disebut dengan aqwalus shahabah, kemudian jika masih belum ditemukannya nash diantara ketiga tahapan tersebut, barulah beliau menggunakan qiyas, istihsan, dan urf atau disebut juga dengan keyakinan diri pada suatu adat di sekitar lingkungannya.

b. Metode Istinbath Mazhab Maliki
Pada madzhab Imam Maliki terdapat metode istinbath hukum islam dimana mereka meyakini bahwa al-qur’an sebagai sumber hukum islam yang paling utama dan pokok, kemudian juga pada sunnah-sunnah Rasulullah yang beliau pandang sah, lalu menggunakan ijma’ para ulama Madinah, kemudian beliau juga akan menggunakan qiyas dan langkah terakhir mengacu pada mashalihul mursaalh atau istislah.

c. Metode istinbath Mazhab Syafi’i
Pada mazhab Imam Syafi’I terdapat metode istinbath hukum islam dimana dalam menetapkan suatu hukum, Imam Syafi‟I memiliki langkah-langkah tersendiri yang senantiasa dipegang teguh yaitu, “Hukum asal adalah al-Qur‟an dan Sunnah; apabila tidak ditemukan didalam al-Qur‟an dan Sunnah maka (metode selanjutnya), Qiyas (analogi) akan dilakukan terhadap keduanya. Apabila hadis dari Rasulullah SAW telah shahih sanad nya (muttashil), maka hadis tersebut adalah hadis yang berkualitas (muntaha); ijma’ lebih utama atas khabar ahad. Makna hadis yang diutamakan adalah makna dhahir (jelas). Apabila terdapat hadis yang berbeda, maka sanad hadis yang lebih baik yang diutamakan. Hadis munqathi’ tidak dapat digunakan kecuali hadist munqathi’ yang berasal dari Ibn al-Musayyab; pokok tidak boleh dianalogikan pada pokok; dan (mengapa dan bagaimana) tidak boleh dipertanyakan pada hukum yang pokok dan pertanyaan tersebut dapat dipertanyakan pada far’ (cabang); apabila ia dianalogikan dengan benar terhadap hukum pokok, maka dapat dijadikan sebagai hujjah.”.

d. Metode istinbath Mazhab Hambali
Madzhab ini meyakini bahwa al-qur’an dan hadits sebagai sumber utama dalam metode istinbath hukum islam, lalu beliau menggunakan fatwa shahaby atau pendapat para sahabat, dan menggunakan Hadits Mursal atau Da’if serta qiyas sebagai pilihan terakhir dalam penentuan beliau terkait hukum islam.

Ciri khas Mahzab Maliki Terkenal Dengan Konsep Maslahat


Salah satu ciri khas dari Madzhab Maliki adalah mengenai Maslahah Mursalah yang terdiri dari dua kata, ُMaslahah artinya baik (lawan dan buruk), manfaat atau terlepas dari kerusakan. Adapun kata Mursalah secara bahasa artinya terlepas dan bebas. Maksudnya ialah terlepas dan bebas dari keterangan yang menujukan boleh atau tidaknya sesuatu yang dilakukan. Abdul Wahab Khalaf mendefiniskan maslahah mursalah adalah “Sesuatu yang dianggap maslahah umum namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”. Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa:
  1. Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadist.
  2. Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan meghindari keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya tidak bertentangan dengan tujuan syara’ secara umum.

Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah mursalahah adalah bukan dalil yang berdiri sendiri. Maslahah mursalah tidak terlepas dari petunjuk syara’. Ulama tidak akan menggunakan maslahah mursalah dalam menghukumi sesuatu itu mendatangkan manfaat menurut tinjauan akal dan sejalan dengan tujuan syara’ (mendatangkan keselamatan ), tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip nash, maka ketika itu nash harus didahulukan. Dan ketika itu ada maslahah mursalah tidak dapat digunakan.

Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu menerimanya kecuali maslahah itu memenuhi syarat yang cukup ketat. Syarat yang besifat umum adalah ketika sesuatu itu tidak ditemukan hukumnya dalam nash yang sharih. Selain itu, ada syarat-syarat yang bersifat Khusus yang harus di penuhi yaitu:
  1. Maslahah mursalah itu bersifat hakiky dan bukan maslahah yang bersifat perorangan dan bersifat zhan, dapat diterima oleh akal sehat bahwa hal itu benar-benar mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan dari madharat secara utuh dan menyeluruh sejalan dengan tujuan syara’ tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Contohnya, menjatuhkan talak itu bagi hakim saja dalam segala keadaan.
  2. Sesuatu yang dianggap maslahah itu hedaknya bersifat kepentingan umum bukan kepentingan pribadi.
  3. Sesuatu yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadist dan ijma.

Ciri Khas Mazhab Hanafi Terkenal Dengan Konsep Istihsan


Dalam Madzhab Hanafi juga terkenal dengan satu konsep yang disebut Istihsan, yang pengertiannya adalah perpindahan dari hukum (yang berlaku) dalam suatu masalah tertentu yang sebanding hukumnya pada hukum lain yang lebih kuat. Sedangkan menurut as-Sarkhasi, istihsan ialah adanya dua qiyas (qiyas jali dan qiyas khafi), dengan melakukan perpindahan dari qiyas jali ke qiyas khafi karena kuat pengaruhnya. Pemilihan qiyas ini bukan karena ketersamaran ataupun kejelasan, melainkan mana yang lebih kuat pengaruh illatnya.(Husain Hamid Hasan, 1971:385-387).

Berkaitan dengan istihsan yang digunakan oleh pengikut madzhab Hanafi, Muhammad bin al-Hasan (murid Abu Hanifah) pernah berkata, “Imam Abu Hanifah selalu memperhatikan kawan-kawannya dalam menganologi, maka mereka merupakan pertengahan darinya dan memperbandingkannya, sehingga tatkala beliau berkata, “Saya telah melakukan istihsan, maka tak seorang pun dari mereka yang menyalahinya. Hal ini karena banyaknya kasus yang diputuskan berdasarkan istihsan, maka mereka semua mematuhi dan membenarkannya.”

Ciri Khas Mazhab Syafi'i Terkenal Dengan Konsep Qiyas


Lain lagi dengan madzhab Syafi'i yang membawa konsep ijtihad atau qiyas (analogi). Titik temu dari ungkapan Maslahah Mursalah dan Istihsan adalah sama-sama terikat oleh ketentuan umum/prinsip tertentu. Namun jika tidak terdapat ketentuan umum yang menunjuk kepadanya, maka ketentuan hukum tersebut harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tak lain adalah qiyas (analogi).

Sejalan dengan itu, Syafi’i juga berpendapat bahwa ilmu itu adalah al-Kitab, al-sunnah, al-ijma’, al-atsar baru kemudian al-qiyas. Belum lagi ketentuan Syafi’i menyangkut tentang persyaratan qiyas yang sangat rumit dan sulit itu, bahwa qiyas baru boleh dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk menguasai hukum-hukum yang terdapat dalam al-Kitab,al-sunnah, pendapat kaum salaf, ijma’ dan akhtilaf serta bahasa Arab yang baik dan benar.

Namun demikian tidak semua qiyas akan menghasilkan pendapat yang berbeda. Karena menurutnya qiyas masih dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, qiyas yang furu’nya sama arti dan merupakan bagian dari pada asalnya. Qiyas seperti ini memiliki tingkat kebenaran yang tinggi, hingga para ulama tidak diperkenankan untuk berselisih paham tentangnya. Kedua, qiyas yang furu’nya mempunyai kesamaan dengan beberapa asal, karenanya dihubungkan dengan asal yang paling tepat dan paling banyak segi kesamaannya. Qiyas model yang kedua ini tidak kuat tingkat kebenarannya, hingga para ulama banyak berbeda pendapat padanya.

Minggu, 20 Maret 2022

Mengintip Perbandingan Madzhab Dalam Islam



Oleh : Muhammad Adi Yusuf
Mahasiswa PAI STAI Al-Hikmah

Perbandingan mazhab atau dalam bahasa Arab disebut muqaranah al-mazahib berasal dari dua sub kata, yaitu kata muqaranah dan mazahib. Secara etimologi muqaranah seperti dalam kamus munjid karangan Luis Ma’luf adalah berasal dari kata : قارن – يقارن – مقارنة yang artinya mengumpulkan, membandingkan antara dua perkara atau lebih. 

Berdasarkan makna lughowi diatas, maka perbandingan mazhab menurut ulama fiqh adalah :

الفقه المقارن : جمع آراء الأئمة المجتهدين مع أدلتها فى المسالة الواحدة المختلف فيها. ومقابلة هذه الأدلة بعضها مع بعض ليظهر بعد مناقشتها أي الأقوال أقوى دليلا

Mengumpulkan pendapat paa imam mujtahidin berikut dalil-dalilnya tentang suatu masalah yang diperselisihkan, dan kemudian membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut satu sama lainnya untuk menemukan yang terkuat dalilnya.

Sedangkan pengertian mazhab secara etimologi berasal dari kata :

ذهب – يذهب – ذهبا - مذهبا dengan bentuk jamaknya مذاهب yang berarti المعتقد االطريقة artinya aliran atau paham yang diikuti/dianut.     

Sedangkan dalam Ensiklopedia Islam mazhab diartikan sebagai pendapat, kelompok atau aliran yang bermula dari pemikiran atau ijtihad seorang imam dalam memahami sesuatu baik filsafat, hukum fiqh, teologi dan sebagainya. Pemikiran ini kemudian diikuti oleh kelompok atau pengkutnya dan dikembangkan mennjadi suatu aliran sekte atau ajaran.

Adapula yang mengartikan mazhab sebagai tempat berjalan, aliran. Dalam istilah Islam berarti pendapat, faham atau aliran seroang alim besar dalam Islam yang disebut imam seperti mazhab syafi’I, mazhab Maliki dan lain sebagainya.

Dari pengertian-pengertian diatas mengenai arti muqaran maupun mazhab itu sendiri baik secara etimologi maupun secara terminologi, tentunya kita bias memahami bahwa yang dimaksud dengan perbandingan mazhab atau muqaranah al-mazahib adalah membandingkan, mempertemukan serta mendiskusikan pendapat atau pandangan mazhab-mazhab terhadap suatu masalah, dengan mengadakan seleksi atau perbandingan terhadap dalil-dalil yang mereka gunakan serta cara beristimbath atas dalil tersebut dengan segala argumentasinya.

Mengapa Terjadi Perbedaan Madzhab

Menjadi sebuah fenomena dengan munculnya berbagai mazhab di bidang ilmu fiqih yang membuktikan bahwa keterbukaannya keilmuan Islam di zaman tersebut sehingga setiap fuqoha’ mampu dan berhak untuk mengemukakan pendapatnya yang berbeda dengan para
fuqoha’ yang lain, meskipun itu adalah gurunya sendiri. Seperti halnya imam Syafi’i yang menjadi salah satu murid tebaik imam Maliki, beliau mengemukakan argumen yang berbeda dengan imam Maliki, yang akhirnya kedua pendapat tersebut memunculkan dua mazhab yang berbeda. Para imam madzhab yang popular dikalangan umat Islam yaitu Hanifah, Maliki,
Syafi’i, Hambali. 

Pada saat sekarang umat Islam tidak dapat lepas dari bermazhab, karena bermazhab menjadikan hukum islam stabil dan tidak berubah tanpa adanya ketentuan yang
pasti. Selanjutnya dalam bermazhab hendaknya memiliki mazhab yang muktabar dan terkenal diantara mazhab empat, yaitu imam Hambali, imam Syafi’i, imam Maliki, imam Hanafi. Hukum dasar dijadikan untuk bermazhab yaitu Qiyas, Hadits, al-Qur’an, dan Ijmak.

Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap rahasia syariat dan memahami illat hukum.

Semua ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena syariat Islam tidak saling bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan terjadi karena keterbatasan dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap harus beramal dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama sebab wahyu sudah terputus.

Namun bagi seorang mujtahid ia mesti beramal dengan hasil ijtihadnya sendiri berdasarkan interpretasinya (dhzan) yang terkuat menurutnya terhadap makna teks syariat. Karena interpretasi ini yang menjadi pemicu dari perbedaan. Rasulullah saw bersabda, ”Jika seorang mujtahid berijtihad, jika benar ia mendapatkan dua pahala dan jika salah dapat satu pahala, ”

Kecuali jika sebuah dalil bersifat qathi’ (pasti) dengan makna sangat jelas baik dari Al-Quran, Sunnah mutawatir atau hadis Ahad Masyhur maka tidak ruang untuk ijtihad.

Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dhzanni (lawan dari qathi) atau yang lafadlnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah sebagai berikut:

1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Arab.
Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.

Contohnya, lafadl quru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al-Baqarah:228). Atau lafadl perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadl nahy; memiliki makna larangan yang haram atau makruh.

Contoh lainnya adalah lafadl yang memiliki kemungkinan dua makna antara umum atau khusus adalah Al-Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam agama” apakah ini informasi memiliki arti larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?

2. Perbedaan Riwayat
Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa, di antaranya:
Hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya.
Atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan perawi yang kuat.
Atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat.
Atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis.
Atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.

3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum
Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat, istishab, saddu dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.

4. Perbedaan Kaidah Usul Fiqh
Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar", "tambahan terhadap nash quran dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.

5. Ijtihad dengan Qiyas
Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal (masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas di samping juga ada kesepakatan antara ulama.

6. Pertentangan (kontradiksi) dan Tarjih antar Dalil-dalil
Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab ini ada yang berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.

Tujuan Perbandingan Madzhab

Sebagian orang masih ada yang beranggapan bahwa mempelajari berbagai mazhab dan perbedaan yang ada didalamnya adalah sesuatu yang tabu dan tidak ada gunanya, dengan asumsi bahwa perbandingan itu akan menggoyahkan pendirian seseorang dan boleh jadi nantinya seseorang akan selalu membanding-bandingkan hukum atau dalil dan mencari yang mudah dengan berpindah-pindah mazhab. 

Mempelajari perbandingan mazhab sangatlah luas manfaatnya sebab perbandingan yang dilakukan merupakan perbandingan lintas mazhab, tidak ada lagi keterikatan pada satu paham, netralitas benar-benar diuji dalam hal ini sehingga keputusan yang diambil benar-benar objektif berdasarkan kenyataan dan bukan rekayasa hukum. 

Tujuan dari muqaranah atau perbandingan bukanlah setelah kita membandingkan sebuah dalil atau hukum, lantas kita jadikan untuk saling melemahkan atau menjatuhkan pendapat satu dengan lainnya, karena fungsi perbandingan juga untuk mempererat atau mendekatkan mazhab-mazhab itu sendiri.

Diantara manfaat mempelajari ilmu muqaranah Al-Mazahib adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui hukum agama dengan sempurna dan beramal dengan hukum yang didukung oleh dalil terkuat. 
2. Dapat mengetahui berbagai pendapat, baik dalam satu mazhab, ataupun mazhab-mazhab lain, baik pendapat itu disepakati atau diperselisihkan dan dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan itu. 
3. Dapat mengetahui metode istibath dan cara penalaran ulama terdahulu dalam menggali hukum syara dari dalilnya yang terperinci 
4. Dapat mengetahui sebab khilaf atau letak perbedaan pendapat yang diperselisihkan 
5. Dapat memperoleh pandangan yang luas tentang pendapat para imam dan dapat mentarjihkan mana yang terkuat. 
6. Dapat mendekatkan berbagai mazhab sehingga perpecahan umat dapat disatukan kembali, ataupun jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga ukhuwah islamiyah lebih terjalin. 
7. Dapat mengetahui betapa luasnya pembahsan ilmu fiqh 
8. Dapat menghilangkan kepician dalam mengamalkan syari’at islam, yang hanya terikat pada satu pendapat serta menyalahkan pendapat mazhab lain. 
9. Dapat menghilangkan sifat taqlid buta

Karakteristik Masing-Masing Madzhab

Di dalam madzhab yang 4 itu ada juga karakter khusus yang menonjol. Adapun ciri khas mereka adalah sebagai berikut:

1. Imam Abu hanifah lebih mengedepankan rasionalitas atau logika/ Ro’yun. Sehingga apabila terdapat seseorang yang sering meminta rasionalitas dalam memcahkan suatu persoalan, maka kembalilah kepada Imam Abu Hanifah.

2. Imam Malik Bin Anas lebih sering kepada hadist, apabila sebuah hadist mengatakan dan atau menjelaskan sebuah perkara A, maka pelaksanaanya pun seperti A. Beliau pernah ditanya tentang logika, “Wahai Imam Malik, apa pendapatmu dari segi akal? kata Imam Malik: Kalau ingin bertanya tentang logika/ Ro’yun, maka tanyakanlah kepada Imam Abu Hanifah jangan tanya kepada saya”. Karena beliau lebih cenderung memahami persoalan dari tekstual hadsitnya. Sehingga apabila para pembaca hendak mengambil persoalan yang sumbernya langsung dari hadist, maka kembali lah kepada Imam Malik bin Anas.

3. Imam Asy Syafi’i memiliki ke khasan, diamana beliau menghafal hadist dan mendalami bahasa Arab, beliau tidak hanya sekedar mendalami bahasa Arab, akan tetapi beliau langsung masuk ke dalam kampung Arab atau ke Badui, dimana daerah ini adalah daerah yang paling fasih bahasa Arabnya, sampai beliau merupakan satu-satunya di antara imam 4 Madzhab yang memiliki diwan, yang di dalamnya terdapat puisi-puisi berbahasa Arab yang berisi nasehat-nasehat, diwan ini bernama Diwan al Imam Asy Syafi’i. Beliau juga dikenal sebagai ahli qias atau analogi, sehingga hadist dapat dipahami, fiqih beliau juga faham, bahasanya kuat dan termasuk analogi beliau sangat kuat. Adapun dalam penetapan hukum sebuah perkara, beliau lebih memilih perkara yang lebih banyak pahalanya. Sebagaimana pendapat beliau dalam membaca basmalah sewaktu sholat, apakah di jahrkan atau dibaca secara sirri, beliau berpendapat bahwa bacaan basmalah dijahrkan ketika sholat jahr (Subuh, Madhrib, Isya’) dan disirkan ketika sholat sir (Dzhuhur, Ashar).

5. Imam Ahmad bin Hambal sering mengambil pertengahan, apabila Imam Malik berpendapat dan Imam Syafi’i berpendapat, maka Imam Ahmad mengambil pertengahannya. Seperti halnya dalam bacaan Bismillah ketika sholat, Imam yang satu membaca Jahr dan Imam yang satu membaca Sir, sedangkan Imam Ahmad membaca dengan tidak Jahr dan tidak Sir. Begitu juga halnya ketika Qunut, Imama Abu Hanifah Tidak melakukan Qunut, dan Imam Syafi’i Qunut, diambil yang pertengahan yaitu ketika ada kejadian, dan apabila tidak ada kejadian dia tidak Qunut lagi, yaitu Qunut Nazilah, itulah Imam Ahmad bin Hambal.


Bolehkah Mengamalkan Semua Madzhab

Dalam bermadzhab ternyata juga ada ketentuan-ketentuan yang mewajibkan kita untuk konsisten dalam penerapan dan tidak juga dengan cara mencampurkan semua madzhab yang ada. Dalam kitab Raudhoh Al-Nadzir wa Junnah Al-Munadzir, di bab Taqlid, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (620H) menyebutkan Ijma’ (Konsensus) para sahabat bahwa seorang awam wajib taqlid (mengikuti) mujtahid atau madzhab. Sama sekali tidak diwajibkan seorang awam untuk mengetahui dalil, cukup bagi seorang awam untuk mengetahui hukum suatu masalah, dan menjalankan ibadah sesuai hukum yang ia ketahui walau tidak tahu dalil. Dan cukup baginya fatwa ulama yang ia ikuti, atau guru yang ia belajar kepadanya.

Sedangkan seorang mujtahid, yang memang mampu menganalisa serta menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan hadits, ia diharamkan mengikuti sipapun itu. Yang dia harus lakukan adalahberijtihad; karena memang ia adalah ahli dalam hal itu.

Nah, tinggal di lihat dengan penuh kesadaran diri, kita masuk dalam kategori yang mana; awam kan atau mujtahid kan kita? Apakah bisa kita memahami teks-teks syariah yang ada tanpa melirik sedikitpun kepada pemaparan dan penjelasan ulama terdahulu? Seberapa baik kemampuan bahasa arab kita? Seberapa paham kita tentang maqasihd syariah? Kalau jauh dari itu semua, maka segera sadari, kita adalah awam yang hanya bisa mengikuti ulama madzhab agar selamat dalam beragama dan tidak keliru memahami al-Qur’an serta hadits Nabi Muhammad SAW yang suci. Karena memang pada dasarnya, mengikuti ulama-ulama madzhab tersebut itu sama juga mengikuti al-Qur’an dan hadits Nabi; karena memang mereka tidak mendatangkan hukum-hukum syariah dari otak dan nafsu mereka, akan tetapi itu semua dari al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW.

Para Ulama bersepakat membolehkan seseorang berpindah mazhab dengan dua syarat:

1. Pertama, tidak berpindah mazhab dengan tujuan mengambil pendapat yang ringan-ringan saja dalam keadaan tidak terdesak. 

2. Kedua, tidak talfiq atau menggabungkan dua mazhab atau lebih dalam satu perkara ibadah.

Jika seseorang pindah mazhab dan memenuhi dua syarat di atas, maka amalannya sah secara fikih.

Maka, sebaiknya seorang muslim itu dalam beribadah, segala amalnya itu punya sandaran argumen yang kuat dan bukan mengada-ngada. Karenanya, tidak dibenarkan seorang muslim beribadah dan mengamalkan ajaran agama tanpa mendapat bimbingan seorang ahli agama yang bisa menjadi akses baginya menuju para mujtahid-mujtahid yang ada. Dengan bahasa yang lebih dekat “berguru kepada guru”, bukan kepada buku, apalagi laman internet yang sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan. Dengan bahasa lain madzhab awam itu madzhab gurunya. Jadi apapun yang diajarkan gurunya, itulah madzhab yang ia harus ikuti. Jangan sekali-kali mencoba untuk menafsirkan dan meneliti ayat serta hadits sendirian yang akhirnya justru menghinakan al-Qur’an itu sendiri bukan memuliakan, karena ditafsiri serampangan dengan nalar yang dangkal dan metode asal-asalan.


Mendeteksi Kecerdasan Linguistik Anak Usia Dini



Oleh : Muhammad Adi Yusuf

Apakah kecerdasan linguistik penting untuk semua orang ? Tentu ! Hal ini karena kecerdasan ini bukan hanya berfungsi untuk berkomunikasi saja. Kecerdasan linguistik juga sangat diperlukan untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, keinginan, dan pendapat seseorang. Oleh karena itu kecerdasan untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, keinginan, dan pendapat sangat dibutuhkan. Hanya kecerdasan linguistik lah yang bisa mewujudkan semua itu

Bahkan, jika Anda dan anak anda tidak berkeinginan menjadi seorang penyiar televise, orator, juru bicara, atau juru kampanye. Anda dan anak anda tetap harus memiliki kecerdasan ini. Kecerdasan ini sangat diperlukan semua orang bahkan semua kalangan, mulai dari masyarakat umum hingga kalangan intelektual.

Masyarakat awam sangat memerlukan kecerdasan ini untuk berinteraksi di tengah-tengah masyarakat. Dalam berinteraksi tersebut, sangat diperlukan tutur kata yang cerdas, tidak melukai perasaan orang lain tidak menyinggungnya, mudah diterima, mencerminkan rendah hati, dan kejujuran.


Hal ini sangat penting diperhatikan karena semua orang tidak suka mendengarkan pembicaraan seseorang yang diulang-ulang dan tidak ada maknanya. Saya sering bertemu dengan orang yang seperti itu, yakni orang yang sangat lemah kecerdasan linguistiknya. Jika ia diberi kesempatan bicara, maka ia akan bicara dalam waktu yang lama, seolah-olah tidak memberi kesempatan orang lain untuk bicara.

Selain itu, ia seringkali terkesan "menggurui" atau berlagak sombong dengan kepiawaiannya. Bahkan, dia sering bermain retorika atau mempermainkan kata-kata yang tidak ada maknanya. Ironisnya, semua yang dibicarakannya menyimpang jauh dari tema yang sedang dibahas. Parahnya lagi, jika ia ditanya atau diarahkan jalan bicaranya, ia menyanggah dengan nada agak emosi, mudah tersinggung, dan tidak mau menerima masukan dari orang lain. Disinilah kecerdasan linguistik sangat diperlukan, sekalipun untuk orang awam.

Ini baru kalangan awam saja. Kalangan intelektual lebih membutuhkan kecerdasan ini. Misalnya, seorang sarjana atau alumni sebuah perguruan tinggi ketika menempuh tes wawancara pekerjaan, memerlukan komunikasi yang sangat cerdas. Bahkan, seringkali keberhasilan tes wawancara sangat ditentukan oleh kepiawaian bertutur kata. Dalam konteks ini meliputi ketepatan menjawab pertanyaan, ketepatan memilih kosakata, daya tarik terhadap apa yang disampaikan, serta kemampuan untuk meyakinkan pihak pewawancara terhadap kemampuan dirinya.


Pendek kata, semua orang sangat membutuhkan kecerdasan linguistik ini. Dalam buku karangan Suyadi berjudul, "Anak Yang Menakjubkan !" (Juni 2009). Disebutkan, karena kecerdasan linguistik itu pasti meningkatkan kemampuan membaca seseorang, bahkan meningkatkan kemampuan menulis seseorang, tidak ketinggalan juga ia akan meningkatkan keterampilan dalam mendengar, gerak verbal, dan juga keterampilan umum.

Manfaat lain dari kecerdasan linguistik yang baik adalah memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan secara cepat. Menyesuaikan dengan lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan secara luas, bukan sebatas satu komunitas saja. Hal ini karena kita pasti akan hidup di dalam berbagai komunitas atau lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan kerja, lingkungan antar institusi, dan lain sebagainya.

Keuntungan lain memiliki kecerdasan linguistik yang baik adalah memudahkan seseorang belajar bahasa. Bahasa yang dimaksud disini adalah bahasa dalam komunitas nya sendiri. Walaupun ia berasal dari suku Batak, ketika ia hidup dalam lingkungan Jawa, maka ia sangat cepat menguasai bahasa Jawa, dan sebaliknya. Kemampuan ini tidak diperolehnya dengan belajar keras secara khusus, melainkan dari daya tangkap pendengaran yang sangat peka. Sebagaimana yang dijelaskan, kecerdasan linguistik yang sempurna pasti didukung dengan kemampuan mendengar yang baik.  

Orang yang mempunyai kecerdasan linguistik yang baik akan mudah merekam suara yang sering dia dengar, mampu untuk ia pahami, serta ia tirukan. Ia mempunyai kemampuan untuk menghubungkan pendengaran dan ucapan atau dengar-ucap (audio vocal) yang sangat baik dalam pikirannya. Tanpa belajar keras ia dengan mudah berbahasa sesuai dengan lingkungannya.


"Anak dewasa" dan orang tua biasanya sudah mengetahui cara mencerdaskan lingkungan dalam dirinya. Lalu, bagaimana dengan kecerdasan linguistik anak ? Mereka yang berusia 0-6 tahun biasanya belum bisa membaca. Oleh karena itu, orang tua dan guru TK berkewajiban untuk mencerdaskan linguistik mereka.

Kita harus mengetahui terlebih dahulu perkembangan kecerdasan linguistik secara normal pada usia dini. Hal ini sangat penting diperhatikan karena setiap anak (di seluruh dunia) tidak sama tingkat perkembangan bahasanya. Oleh karena itu, anda tidak perlu heran jika melihat ada anak sangat cepat belajar, sedangkan anak yang lain sebaliknya.  

Ini sudah menjadi "kodrat" bagi setiap anak. Bahkan, hingga saat ini belum ditemukan satu metode yang cocok dan pas untuk mencerdaskan semua anak. Hal ini karena setiap anak mempunyai keunikan tersendiri. Hal ini menuntut Guru dan Orang Tua mengembangkan kreativitasnya untuk mencerdaskan mereka.

Mengapa memperhatikan perkembangan bahasa anak sangat penting? Hal ini karena sebelum mereka masuk sekolah taman kanak-kanak (TK) yaitu antara usia 3-4 tahun, dituntut untuk bisa memahami percakapan, baik dengan bahasa tubuh atau gerakan maupun dengan kata-kata. Jika anak belum bisa memahami bahasa paling dasar ini, mereka akan kesulitan menyesuaikan diri dengan teman-temannya.


Selanjutnya di era modern ini setiap anak yang hendak masuk sekolah dasar (SD)  dituntut telah mengenal berbagai tanda, simbol bahasa, atau kata-kata. Bahkan, sekolah-sekolah favorit di perkotaan menuntut lebih jauh lagi, yakni anak telah bisa membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Minimal, mereka hanya menerima peserta didik yang telah hafal huruf abjad dan mengenal bilangan.

Dengan demikian, memperhatikan perkembangan bahasa anak sangat diperlukan. Dari pengetahuan orang tua akan kemampuan bahasa anaknya itulah, maka orang tua mampu membantu mengembangkan bahasa anak agar sesuai dengan standar umum. Artinya, anak bisa berbahasa dengan kode-kode minimal dalam setiap tahunnya.

Meskipun demikian, saya yakin bahwa orang tua mempunyai mempunyai kecerdasan "naluri" tersendiri untuk menilai seberapa tinggi nilai kecerdasan linguistik anaknya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa anak adalah makhluk yang sangat unik. Artinya, tidak ada seorangpun yang mengetahui mengapa anak yang secara IQ tinggi, tetapi sangat lamban dalam bertutur kata. Sebaliknya beberapa anak yang ber-IQ rata-rata, sangat pesat dalam mempelajari bahasa.


Oleh karena itu, untuk mencerdaskan anak-anak Anda, hal yang bisa dilakukan hanyalah membantu dengan memberikan stimulus tertentu. Dan yang pasti, jangan pernah melaksanakan da untuk mendekati "menu" pelajaran yang anda sajikan. Ingat, tujuan Anda membantu anak belajar adalah untuk memberikan stimulus, bukan untuk menghafal kata dan mengenali bilangan.

Sudah menjadi fitrah setiap manusia, bahwa setiap anak yang dilahirkan mempunyai rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Ia akan tertarik pada hal-hal baru di hadapan mereka, termasuk berkata-kata dan mengenal bilangan. Jika ada beberapa anak tidak tertarik dengan hal-hal tersebut, maka pasti ada yang salah dengan metode orang tua atau guru dalam memperkenalkan hal-hal baru tersebut.

Oleh karena itu, jangan memaksakan anak untuk bisa membaca dan berhitung pada usia dini. Hal ini akan berdampak negatif di kemudian hari. Kelak ketika dewasa ia akan tidak suka membaca dan berhitung. Karena tidak suka, maka ia tidak akan melakukannya. Hal ini mengakibatkan orang tua yang tidak memahami. Hal ini akan marah, menyuruh dan memaksa, bahkan mengancam supaya anaknya mau belajar. Inilah akibat yang paling sederhana dari memaksa anak membaca dan berhitung pada usia dini. Mungkin ketika ia dipaksa, hasilnya cukup mencengangkan. Misalnya, pada usia 5 tahun telah hafal 100 kata atau telah lancar membaca dan berhitung. Akan tetapi, untuk mau belajar, ia harus dipaksa selamanya.

Dengan demikian, buatlah anak Anda menyenangi aktivitas belajar membaca dan berhitung. Anda bisa memulai dari mengenalkan huruf abjad, mengenal bilangan, menulis hingga membaca, berhitung, dan seterusnya. Saya kira hal ini tidak terlalu sulit. Setiap anak mempunyai fitrah atau naluri ketertarikan terhadap hal-hal yang baru.

Maka, tugas terpenting adalah bagaimana cara membuat anak senang belajar. Karena membuat anak senang belajar dan membaca serta berhitung akan berdampak positif di kemudian hari. Minimal, kelak setelah ia masuk sekolah, ia akan senang belajar tanpa disuruh, apalagi dipaksa dan diancam. Belajar yang demikian, hasilnya jauh lebih memuaskan daripada belajar dan paksaan.



Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mendeteksi Kecerdasan Linguistik Anak Usia Dini", Klik untuk baca:




Sabtu, 07 November 2015

ADAKAH KENIKMATAN YANG LEBIH UTAMA DARI SYURGA ?

Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari dimana ketika penduduk surga telah memasuki surga dan menikmati seluruh kenikmatan surga, kemudian Allah berfirman dalam hadits qudsi :

يا أهل الجنّة فيقولون لبّيك ربّنا وسعديك والخير في يديك فيقول هل رضيتم فيقولون وما لنا لا نرضى يا ربّ وقد أعطيتنا ما لم تعط أحدا من خلقك فيقول ألَا أعطيكم أفضل من ذلك فيقولون يا ربّ وأيّ شيء أفضل من ذلك فيقول أحلّ عليكم رضواني فلا أسْخط عليكم بعده أبدا

“Wahai penghuni surga!, mereka menjawab, “Kami memenuhi panggilan-Mu wahai Rabb. Seluruh kebaikan hanya ada pada kedua tangan-Mu.”, 

kemudian Allah berfirman: “Apakah kalian puas terhadap limpahan nikmat-Ku?” mereka menjawab, “Apa yang membuat kami tidak ridha terhadap-Mu wahai Rabb, padahal Engkau telah memberikan kepada kami kenikmatan yang tidak Engkau berikan kepada seorangpun dari makhluk-Mu.” 

Allah berfirman: “Maukah kalian Aku berikan kenikmatan yang lebih utama daripada kenikmatan itu”?, mereka menjawab, “Wahai Rabb, kenikmatan manakah yang lebih utama daripada kenikmatan itu?” 

Allah berfirman: “Aku akan limpahkan keRidhaan-Ku kepada kalian, sehingga Aku tidak akan murka kepada kalian selama-lamanya”.

Masya Allah, inilah kenikmatan yang terlebih indah dan terlebih utama daripada Syurga. Yaitu, RIDHA-NYA.

Ya Allah, muliakanlah kami menjadi penghuni syurgaMU dan pastikan telinga kami mendengar langsung panggilan dan seruan Maha IndahMU disana..

 امين امين امين يا رب العالمين

---